----------
Istilah sukuk berasal dari bentuk jamak bahasa arab ’saq’ atau sertifikat, “instrument legal, surat-surat, cek” menurut istilah dalam bahasa Arab dapat berarti sertifikat keuangan yang bisa dipersamakan dengan Obligasi Islam. Meskipun begitu pendapatan tetap, obligasi berbunga tidak diperbolehkan dalam Islam, oleh karena itu sukuk merupakan sekuritas yang sesuai dengan hukum Islam dan prinsip-prinsip investasinya, seperti pelarangan pembebanan atau pembayaran bunga. Asset keuangan yang sesuai dengan hukum Islam dapat dikelasifikasikan menurut jenis yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dalam pasar sekundar.
Estimasi konservatif dengan krangka kerja dan strategi selama 10 tahun merekomendasikan bahwa lebih dari $700 triliun asset dunia akan dikelola menurut prinsip-prinsip investasi Islam. Prinsip-prinsip tersebut merupakan bagian dari syari’ah, yang dipahami sebagai ‘hukum Islam’, yang mencakup seluruh pranata keagmaan, moral dan kewajiban dalam Islam.
Asset-syari’ah di seluruh dunia diperkirakan mencapai $500 triluin dan telah tumbuh lebih dari 10 % pada dekade terakhir ini, menempatkan keuangan Islam pada setiap tingkatan asset global, di dearah teluk dan Asia, Standard & Poor (S&P) memperkirakan 20% nasabah perbankan akan secara spontan memilih produk keuangan Islam dibanding dengan produk konvensional dengan profil risk-return yang sama.
Dengan terminology Arab dan pelarangan yang tidak biasa, pembiayaan sukuk mungkin tidak cukup memuaskan bagi ‘orang luar’, salah satu analogy yang baik adalah sukuk merupakan investasi beretika atau green investing, disini keleluasaan sekuritas investasi dibatasi oleh kriteria tertentu berdasar pada prinsip moral dan etika. Keuangan Islam juga merupakan bagian dari pasar dunia oleh karena itu tidak ada sesuatupun yang dapat mencegah investor konvensional berpartisipasi dalam pasar Islam.
Konsep Sukuk telah dikenal sejak masa-masa awal peradaban Islam, namun baru muncul kembali beberapa tahun terakhir ini sebagai instrumen keuangan syariah yang semakin banyak digunakan secara luas.The accounting and Auditing Organisation Of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah suatu lembaga akuntasi dan auditing keuangan Islam Dunia, mendefinisikan Sukuk sebagai “ certificate of equal value representing undivided shares ownership of tangible asset, usufruct and services (in the ownership of) the assets of particular projects or special investment activity” (sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dapat dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu).
Kalau disederhanakan definisi Sukuk adalah suatu instrumen pasar modal atau surat berharga yang sesuai dengan prinsip syariah. Sertifikat Sukuk adalah bukti kepemilikan proporsional didalam bagian yang tidak terbagi atas aset itu, sehingga pemegang Sukuk memiliki seluruh hak dan kewajiban atas aset tersebut. Penerbit Sukuk mendirikan suatu trust atau perwaliamanatan atas aset yang mendasari Sukuk dan menerbitkan Sukuk untuk para investor di pasar primer, yang kemudian memegang kepemilikan pro-rata dan tidak terbagi atas aset yang dikuasai oleh trust/perwaliamanatan tersebut. Pembeli Sukuk di pasar primer dapat menjual Sukuk yang dimilikinya di pasar sekunder, sehingga pembeli Sukuk di pasar sekunder itu akan menjadi pemilik baru dan berhak memperoleh penghasilan yang stabil yang dihasilkan oleh aset yang mendasari Sukuk tersebut.
Sukuk pada prinsipnya mirip obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan Sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak, yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah, Selain itu, Sukuk juga harus di struktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas hal-hal yang bertentangan dengan syariah, seperti maysir (judi), Gharar (spekulasi), Riba (bunga) dan suatu hal yang haram. Aset (underlying asset) yang menjadi objek perjanjian harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Fungsi underlying asset tersebut untuk menghindari riba, sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya Sukuk di pasar sekunder dan menentukan jenis struktur Sukuk.
Sejarah
Pada masa kelasik Islam sakk (sukuk)- berhubungan dengan akar kata Eropa “cheque” (kata berasal dari bahasa Persi)- berarti dokumen yang merepresentasikan kontrak atau hak, kewajiban sesuai dengan prinsip syari’ah, bukti empiris menujukkan bahwa sukuk merupakan produk yang secara luas digunakan pada pertengahan abad Islam untuk melakukan transfer keuangan pada aktifitas perdagangan atau kegiatan komersil lainnya.
Esensi sukuk, dalam prespektif dunia Islam modern, bersandar pada asset monetization atau biasa disebut dengan sekuritisasi (surat berharga), yang dicapai melalui proses penerbitan sukuk (taskeek), salah satu potensi besarnya adalah mentransformasikan asset future cash flow pada present cash flow, sukuk dapat diterbitkan pada asset yang sudah ada atau asset tertentu yang dapat tersedia di masa mendatang.
Nilai sukuk pada akhir 2006 lebih dari $ 50 T dan akan mengalami pertumbuhan secara pesat pada tahun 2007, dengan tiap kali penerbitan sukuk mengalami oversubscribed 5 sampai 6 kali, dengan bidikan percepatan pertumbuhan di Negara-negara barat.
Prinsip
Syari’ah mempersyaratkan bahwa pembiayaan hanya diperuntukkan pada perdagangan, atau konstruksi, asset spesifik dan identifiable asset, perdagangan dalam hutang dilarang, sehingga penerbitan obligasi konvensional akan tidak sesuai. Semua retrun sukuk dan arus kasnya akan dihubungkan pada penjualan asset atau berasal dari konstruksi asset yang bukan berasal dari bunga, bagi peminjam untuk menaikkan pembiayaan mereka akan butuh utilisasi asset pada strukturnya (yang mungkin merupakan modal pada perusahaan), equity financing adalah produk yang sesuai dengan syri’ah dan cocok dengan risk/return dalam ajaran Islam.
Sebagaimana Syari’ah menganggap uang sebagai alat untuk mengukur nilai dan bukan merupakan asset, hal tersebut mempersyaratkan salah satunya tidak dapat menerima pendapatan yang berasal dari uang (atau segala sesuatu yang berasal dari uang). Uang dapat menghasilkan uang (secara implisit) adalah “riba” dan dilarang. Akibatnya bagi institusi keuangan Islam memperdagangkan dan menjual hutang, piutang, pinjaman konvensional dan kredit card tidak diperbolehkan.
Prinsip-prinsip ini secara luas dipahami untuk menjaga ketidak pastian (uncertainty) dalam kontrak dan/atau ketidak pastian underlying asset dalam kontrak, dan hal inilah yang menjadi perhatian cendikiawan muslim ketika mempertimbangkan aplikasi derivative, Syari’ah juga harus sejalan dengan konsep “maslahah” atau “kepentingan public”, menandai hal tersebut bahwa jika sesuatu sangat berlimpah pada barang publik, belum tentu dapat ditransaksikan, dan oleh karena itu hedging atau mitigasi penghindaran resiko bisnis, dapat tidak berlaku menurut kategori ini, meskipun begitu hal ini masih membutuhkan diskusi yang panjang.
Sukuk, berdasarkan strukturnya terdapat berbagai jenis, yang dikenal secara international dan telah mendapatkan endorsement dari AAOIFI.
- Sukuk Ijarah : Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah, dimana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan aset itu sendiri.
- Sukuk Mudharabah: Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudharabah, dimana satu pihak menyediakan modal (rab-al-maal/shahibul maal) dan pihak lain menydiakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan proporsi perbandingan (nisbah) yang disepakati sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, sepanjang kerugian tersebut tidak ada unsur moral hazard (niat tidak baik dari mudharib).
- Kemudian, Sukuk Musyarakah : Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah, dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang sudah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
- Dan terakhir, Sukuk Istishna : Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna, dimana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan dan spesifikasi proyek/barang ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
Penerbitan Sukuk harus terlebih dahulu mendapatkan pernyataan kesesuaian prinsip syariah untuk meyakinkan investor bahwa Sukuk telah di struktur sesuai syariah. Pernyataan syariah complience tersebut bisa diperoleh dari individu yang diakui secara luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar